
NEWS

Konten Riding Ekstrem Jadi Tren Berbahaya Di Kalangan Remaja
Konten Riding Ekstrem Jadi Tren Berbahaya Di Kalangan Remaja

Konten Riding Ekstrem kini jadi media ekspresi motor, bukan hanya transportasi, dan makin populer di kalangan remaja Indonesia. Sayangnya, tren ini berkembang ke arah yang membahayakan, di mana aksi riding ekstrem seperti wheelie, drifting di jalan umum, hingga kebut-kebutan demi konten viral mulai marak dan memakan korban.
Dalam beberapa tahun terakhir, berbagai platform media sosial seperti TikTok, Instagram, dan YouTube di banjiri konten aksi ekstrem menggunakan sepeda motor. Mulai dari aksi wheelie (mengangkat ban depan motor), stoppie (mengangkat ban belakang), hingga aksi drifting di jalan raya, menjadi tontonan viral dengan jutaan penonton. Mayoritas pelaku konten ini adalah remaja berusia antara 15 hingga 22 tahun yang mencari eksistensi dan pengakuan sosial.
Data Kominfo 2024 menunjukkan 68% pengguna aktif TikTok Indonesia berusia 13–24 tahun, kelompok remaja dan dewasa muda yang dominan. Laporan SAFARI menyatakan 38% video riding ekstrem di media sosial Indonesia diunggah oleh pelajar SMA, menunjukkan tren berisiko tinggi. Kondisi ini menandakan perlunya edukasi dan pengawasan lebih intensif agar pengguna muda lebih sadar akan risiko konten yang mereka buat dan bagikan. Motivasi utama aksi ini adalah keinginan viral, karena algoritma media sosial mengutamakan konten penuh sensasi dan emosi ekstrem.
Seorang remaja bernama Rian (17 tahun) dari Depok, yang sempat viral karena aksi drifting motornya di tikungan jalan umum, mengaku bahwa video tersebut mendatangkan lebih dari 200 ribu penonton dalam dua hari. “Awalnya iseng, tapi pas lihat naik views-nya jadi keterusan. Kayak ada kepuasan sendiri,” katanya dalam wawancara dengan sebuah kanal YouTube.
Konten Riding Ekstrem sering menampilkan aksi menantang tanpa pengaman memadai, padahal hal ini melanggar hukum dan sangat berisiko bagi keselamatan semua pengguna jalan. Aksi tersebut tidak hanya membahayakan pelaku, tetapi juga mengancam keselamatan pengendara lain dan pengguna jalan di sekitarnya.
Konten Riding Ekstrem: Kecelakaan dan Dampak Sosial
Konten Riding Ekstrem: Kecelakaan dan Dampak Sosial tren populer di media sosial berdampak pada citra remaja dan menyebabkan kecelakaan serta kematian di kalangan pengendara muda. Data Korlantas Polri tahun 2024 menunjukkan kenaikan 15% kecelakaan lalu lintas melibatkan remaja, dengan 23% akibat aksi tidak wajar di jalan.
Kasus tragis terjadi di Surabaya November 2024, dua remaja tewas setelah menabrak tiang listrik saat wheelie sambil merekam video. Polisi menyatakan bahwa kejadian tersebut tidak hanya melanggar UU Lalu Lintas, tetapi juga mencerminkan kegagalan edukasi berkendara yang aman.
Kecelakaan seperti ini tak jarang di sertai dengan reaksi berantai di media sosial. Banyak warganet menyampaikan empati, namun tak sedikit pula yang menyebarkan ulang video kecelakaan tanpa sensor, yang secara etika tidak pantas dan bisa berdampak pada keluarga korban. Aspek ini memperparah kondisi psikologis keluarga dan rekan korban.
Dampak sosial lain juga di rasakan di lingkungan sekolah. Sejumlah SMA di Jabodetabek melakukan razia ponsel dan cek akun media sosial siswa untuk deteksi konten berisiko sejak dini. Kepala Sekolah SMAN 70 Jakarta Selatan mengadakan workshop “Etika Berkendara dan Media Sosial” setelah dua siswa tertangkap terkait riding ekstrem.
Di sisi lain, tren ini juga menyebabkan stereotipe negatif terhadap remaja pengguna motor. Banyak masyarakat menganggap semua pengendara remaja sebagai ugal-ugalan, padahal tidak semuanya demikian. Stigma ini bisa berbahaya jika tidak di barengi dengan pendekatan edukatif yang tepat.
Peran Media Sosial Dan Kurangnya Literasi Digital
Peran Media Sosial Dan Kurangnya Literasi Digital media sosial memainkan peran besar dalam memperkuat dan menyebarkan tren riding ekstrem. Algoritma platform seperti TikTok dan Instagram Reels yang mengutamakan konten “engaging” mendorong para kreator muda untuk membuat video yang memicu adrenalin. Akibatnya, tindakan berisiko tinggi justru diberi panggung besar, sementara konten edukatif cenderung tenggelam.
Lembaga Pengawas Media Sosial Indonesia (LPMI) pada awal 2025 mengeluarkan laporan bahwa hanya 18% dari konten motor yang viral mengandung unsur edukasi atau keselamatan berkendara. Sementara sisanya adalah konten sensasional seperti balap liar, drifting, atau aksi berbahaya lain. Hal ini menunjukkan rendahnya proporsi konten positif di banding konten berisiko.
Sayangnya, masih banyak remaja yang belum memiliki literasi digital yang memadai untuk menyaring konten. Mereka cenderung meniru tanpa mempertimbangkan risiko, terutama ketika melihat bahwa pelaku video sebelumnya tampak “selamat” atau mendapatkan pujian dari warganet. Hal ini menciptakan ilusi bahwa aksi tersebut tidak terlalu berbahaya.
Upaya literasi digital memang sudah di lakukan oleh beberapa pihak. Kominfo, misalnya, telah bekerja sama dengan platform seperti Meta dan Google untuk mempromosikan kampanye “Berani Aman di Jalan dan Online”. Namun, efektivitasnya masih terbatas karena belum menyasar langsung komunitas motor remaja secara masif.
Menurut pengamat media sosial Ismail Fahmi, langkah platform seharusnya tidak berhenti pada sekadar moderasi konten. “Perlu kurasi aktif dan dorongan algoritma terhadap konten positif. Jika tidak, remaja akan terus berlomba membuat konten ekstrem demi eksistensi digital, kata narasumber dalam diskusi daring Kominfo.
Solusi Dan Upaya Preventif
Solusi Dan Upaya Preventif menghadapi fenomena ini, berbagai solusi mulai di gulirkan oleh pemerintah, aparat, sekolah, dan komunitas motor. Salah satu pendekatan yang di anggap efektif adalah integrasi edukasi keselamatan berkendara dalam kurikulum sekolah dan pelatihan komunitas.
Polda Metro Jaya bekerja sama dengan Dinas Pendidikan DKI Jakarta telah memulai program “Riding Safety Goes to School”, di mana siswa SMA dan SMK di berikan pelatihan berkendara yang aman, termasuk dampak hukum dari aksi berbahaya. Hingga Mei 2025, program ini telah menjangkau 127 sekolah dengan lebih dari 15 ribu siswa sebagai peserta.
Di sisi penegakan hukum, Ditlantas Polri juga mengintensifkan patroli digital terhadap akun media sosial yang menyebarkan konten riding ekstrem. Dalam empat bulan terakhir, lebih dari 350 akun diingatkan dan 47 pengendara kena sanksi tilang elektronik lewat video unggahan sendiri.
Langkah positif muncul dari komunitas motor Bold Riders dan Supermoto, aktif mengkampanyekan keselamatan serta penggunaan motor yang bertanggung jawab. Mereka membuat konten alternatif menarik namun aman, seperti riding bersama di sirkuit atau turing wisata dengan perlengkapan lengkap.
Edukasi dari rumah sangat penting, dengan orang tua diharapkan lebih aktif mengawasi dan membimbing kegiatan digital anak. Psikolog Anna Surti Ariani menyarankan agar orang tua membangun komunikasi terbuka tanpa menghakimi agar anak nyaman berbagi aktivitas daring. Pendekatan kolaboratif ini akan memperkuat kesadaran keselamatan sejak dini dan membantu mencegah risiko buruk akibat tren riding ekstrem.
Jika semua pihak—pemerintah, media sosial, sekolah, komunitas, dan keluarga—bersinergi, tren riding ekstrem berbahaya bisa berubah jadi budaya aman dan bertanggung jawab. Dengan sinergi yang solid, budaya berkendara yang aman, bertanggung jawab, dan kreatif akan semakin mudah diterapkan di kalangan remaja.
Fenomena riding ekstrem di kalangan remaja muncul dari adrenalin, tekanan sosial digital, dan kurangnya literasi keselamatan, perlu di tangani agar lebih aman melalui edukasi dan moderasi Konten Riding Ekstrem.