NEWS
Kisruh Pemilu Kampus: Cerminan Demokrasi Generasi Muda
Kisruh Pemilu Kampus: Cerminan Demokrasi Generasi Muda

Kisruh Pemilu Di Sejumlah Kampus Tanah Air Mencuat Ke Permukaan Setelah Banyak Laporan Mengenai Dugaan Kecurangan, Intimidasi. Mulai dari vote buying, ketidaktransparanan dalam rekapitulasi, hingga tekanan fisik atau psikologis terhadap calon atau pemilih, menjadi sorotan utama.
Fenomena ini mencuat di tengah gelombang protes mahasiswa nasional sejak Februari 2025 terutama aksi Indonesia Gelap yang diprakarsai BEM SI yang menyoroti demokrasi kampus dan banyak terjadi insiden intimidasi hingga penahanan mahasiswa menunjukkan bahwa krisis demokrasi tidak hanya terjadi di level nasional, tetapi juga di lingkungan akademik.
Benturan dengan Ruang Kampus yang Ideal, Kampus seharusnya menjadi tempat perdebatan intelektual dan belajar berpolitik secara sehat. Namun kenyataannya, rivalitas antarfaksi sering kali diwarnai perilaku otoriter, memecah belah, bahkan intimidasi. Rekrutmen tim sukses tapi dengan metode seperti ancaman langsung atau pemaksaan dukungan, mencederai prinsip musyawarah dan advokasi beradab.
Reaksi Civitas Akademika, Mahasiswa kritis dari kampus besar seperti Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Universitas Brawijaya menyuarakan keresahan lewat penelusuran potensi konflik pemilu kampus sejak 2023. Selain itu, dekan dan fakultas hukum juga mengingatkan pentingnya menjaga akuntabilitas dan kebersihan proses selaku cerminan demokrasi bermartabat.
Kultur Politik Kampus yang Belum Dewasa, Kisruh Pemilu kampus tidak dapat dilepaskan dari kultur politik yang belum sepenuhnya matang. Banyak pihak menilai bahwa kontestasi di kalangan mahasiswa masih dipenuhi oleh ego sektoral dan kepentingan kelompok yang sempit, bukan visi membangun kampus yang lebih demokratis dan inklusif.
Peran Media Sosial dalam Memperkeruh Situasi. Tak kalah penting, peran media sosial juga berkontribusi dalam memperbesar kisruh. Alih-alih menjadi ruang transparansi, platform seperti Instagram, Twitter (X), dan TikTok justru menjadi ajang saling serang antarkelompok mahasiswa. Fitnah, pelintiran narasi, dan doxing menjadi praktik yang kerap ditemukan selama masa kampanye pemilu kampus.
Satu contoh nyata adalah viralnya video intimidasi terhadap mahasiswa baru yang di minta memilih salah satu calon dengan ancaman sosial.
Dampak Negatif Bagi Kultur Akademik
Dampak Negatif Bagi Kultur Akademik. Kisruh pemilu di kampus tidak hanya merusak proses demokrasi, tetapi juga meninggalkan luka dalam pada kultur akademik secara keseluruhan. Pertama, erosi kepercayaan terhadap lembaga kampus menjadi hal paling nyata. Ketika proses pemilihan mahasiswa di bumbui oleh manipulasi, intervensi pihak luar, atau ketertutupan informasi, maka kredibilitas organisasi kemahasiswaan ikut runtuh. Mahasiswa yang semula antusias ikut serta, lambat laun menjadi skeptis dan apatis terhadap kegiatan kelembagaan.
Kedua, kondisi ini menyebabkan minimnya ruang dialog sehat. Kampus, yang seharusnya menjadi ruang pembelajaran demokrasi dan perbedaan pendapat secara sehat, justru berubah menjadi ladang konflik dan adu kekuasaan. Akibatnya, muncul budaya “resign” atau menjauh dari aktivitas organisasi. Mahasiswa-mahasiswa potensial memilih mundur karena merasa lelah, takut di kucilkan, atau muak melihat praktik kotor yang terjadi di balik layar.
Ketiga, munculnya polarisasi kelompok di lingkungan kampus menjadi problem lain yang tak kalah serius. Mahasiswa terpecah ke dalam faksi-faksi politik yang berseberangan dan saling menjatuhkan. Diskusi ilmiah dan kegiatan edukatif seringkali tertutupi oleh agenda politik praktis. Bahkan dalam beberapa kasus, perbedaan pilihan di pemilu kampus berimbas pada hubungan personal antar mahasiswa yang retak hingga lulus.
Lebih jauh lagi, dampak psikologis dari situasi ini juga patut di perhatikan. Mahasiswa yang terlibat dalam pemilu kampus, baik sebagai kandidat maupun tim sukses, seringkali mengalami tekanan mental yang tinggi. Mereka harus menghadapi berbagai intrik, intimidasi, bahkan doxing (penyebaran informasi pribadi tanpa izin) yang di lakukan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Hal ini berisiko menurunkan kesehatan mental mahasiswa yang seharusnya fokus pada proses belajar-mengajar.
Dalam jangka panjang, fenomena ini juga mengancam regenerasi kepemimpinan mahasiswa. Ketika para mahasiswa idealis enggan terlibat karena merasa sistemnya sudah tercemar, maka peluang untuk mencetak pemimpin muda yang visioner dan berintegritas akan makin kecil. Organisasi kemahasiswaan akhirnya diisi oleh mereka yang hanya mencari popularitas atau sekadar alat untuk memperluas koneksi politik.
Upaya Regulasi Dan Pengawasan
Upaya Regulasi Dan Pengawasan. Beberapa pihak mendorong pembentukan Komisi Pemilihan Internal yang tergabung bersama BEM, LD (Lembaga Dakwah), dan fakultas. Tujuannya:
-
Menjamin transparansi rekap suara dan audit manual
-
Menyebarkan edukasi pemilih (pemaham prosedur, antisipasi kecurangan)
-
Membuat sanksi internal terhadap pihak yang melanggar etik
Di tingkat nasional, menyoroti bahwa konflik kampus menjadi bagian dari kerawanan demokrasi yang lebih luas, mendorong kajian UU Pemilu kampus.
Upaya pembentukan Komisi Pemilihan Internal yang terdiri dari berbagai elemen mahasiswa seperti BEM, Lembaga Dakwah (LD), serta perwakilan fakultas, merupakan langkah awal yang menjanjikan untuk membenahi sistem demokrasi di lingkungan kampus. Komisi ini berfungsi bukan hanya sebagai pelaksana teknis pemilu, tetapi juga sebagai penjaga moral dan etika dalam proses demokrasi mahasiswa.
Salah satu prioritas utama dari komisi ini adalah menjamin transparansi rekapitulasi suara melalui mekanisme audit manual terbuka yang bisa di akses oleh publik kampus. Dengan demikian, kecurigaan terhadap manipulasi hasil dapat di minimalisir secara signifikan. Lebih dari itu, komisi ini juga bertanggung jawab dalam memberikan edukasi politik kampus secara menyeluruh, terutama kepada mahasiswa baru yang rentan di mobilisasi tanpa pemahaman yang utuh tentang tata cara pemilu.
Tak kalah penting, komisi ini juga memiliki mandat untuk menyusun sanksi internal terhadap pelanggaran etik, baik dalam bentuk kampanye hitam, pembagian uang, atau tekanan dari kelompok tertentu. Sanksi bisa berupa diskualifikasi, skorsing organisasi, hingga rekomendasi kepada pihak rektorat untuk tindakan administratif.
Di tingkat yang lebih luas, BEM SI telah mendorong agar konflik pemilu kampus tidak di anggap remeh. Mereka menyerukan revisi dan kajian lebih dalam terhadap UU Pemilu Mahasiswa, mengingat tidak adanya regulasi nasional yang mengikat sistem pemilu internal kampus, yang berujung pada inkonsistensi, konflik kepentingan, dan kekosongan hukum.
Ujian Demokrasi Kampus
Ujian Demokrasi Kampus. Pemilu kampus yang sehat seharusnya menjadi fondasi pembelajaran demokrasi praktis, bukan sebaliknya. Memulihkan kultur kolegial bermartabat dan prosedural menjadi penting agar mahasiswa benar-benar menjadi agen perubahan, bukan korban ekspresi kekuasaan yang tak terkendali.
Tentunya, setiap kampus memerlukan dukungan dari struktur ekosistem akademik mahasiswa, dosen, Rektorat untuk menciptakan pemilu kampus yang tidak hanya sah secara prosedur, namun juga bermakna secara nilai. Jika tidak, kisruh pemilu kampus hanya akan menumbuhkan trauma demokrasi bagi generasi intelektual masa depan.
Dalam konteks inilah, peran dosen dan civitas akademika menjadi krusial. Mereka tidak boleh hanya menjadi pengamat pasif, melainkan perlu aktif menciptakan ruang dialog dan literasi politik yang mencerahkan. Ketika dosen mengambil peran sebagai pendidik yang mendorong nilai-nilai etika dan demokrasi substantif, maka iklim kampus akan lebih kondusif bagi tumbuhnya demokrasi yang sehat. Kampus bukanlah sekadar tempat bertemunya berbagai kepentingan politik mahasiswa, tetapi juga ruang pembentukan karakter dan kepemimpinan yang berbasis moralitas serta keadaban publik.
Di sisi lain, penting pula menghadirkan mekanisme evaluasi berkala terhadap pelaksanaan pemilu kampus, termasuk melalui forum terbuka, diskusi publik, atau bahkan debat terbuka antara calon pemimpin mahasiswa. Langkah-langkah semacam ini tidak hanya meningkatkan transparansi, tapi juga menumbuhkan kesadaran politik di kalangan mahasiswa. Demokrasi bukan hanya soal menang dan kalah, melainkan soal menerima perbedaan dan membangun kompromi.
Apabila langkah-langkah kolektif ini tidak segera dilakukan, bukan tidak mungkin kisruh pemilu kampus akan menjadi penyakit menahun yang merusak semangat demokrasi itu sendiri. Kampus akan kehilangan perannya sebagai taman intelektual dan berubah menjadi panggung konflik kekuasaan yang tak berujung. Maka, mewujudkan pemilu kampus yang adil dan bermartabat bukan hanya menjadi pekerjaan rumah bersama, tetapi juga kunci utama dalam mencegah terulangnya Kisruh Pemilu.