
NEWS

Lonjakan Obesitas Di Perkotaan, Apa Dan Mengapa?
Lonjakan Obesitas Di Perkotaan, Apa Dan Mengapa?

Lonjakan Obesitas tidak hanya menjadi masalah di negara maju, tetapi juga merambah kota-kota besar di negara berkembang, termasuk Indonesia. Meningkatnya prevalensi obesitas di kawasan urban menimbulkan keprihatinan karena berkaitan langsung dengan risiko penyakit tidak menular (PTM) seperti diabetes, hipertensi, dan penyakit jantung.
Obesitas di perkotaan Indonesia menunjukkan tren peningkatan signifikan dalam satu dekade terakhir. Data Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 yang di rilis oleh Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa prevalensi obesitas pada orang dewasa (usia ≥18 tahun) meningkat dari 21,8% pada 2018 menjadi 23,4% pada 2023. Kenaikan ini sebagian besar terjadi di daerah perkotaan, yang mencatat prevalensi lebih tinggi di banding pedesaan. DKI Jakarta, misalnya, mencatat prevalensi overweight dan obesitas tertinggi sebesar 48%.
Peningkatan ini tidak hanya terjadi pada orang dewasa, tetapi juga pada anak-anak dan remaja. Menurut data WHO 2023, sekitar 39 juta anak di bawah usia lima tahun mengalami kelebihan berat badan atau obesitas secara global, dan Indonesia menyumbang sebagian dari angka ini, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan.
Lonjakan Obesitas di kawasan perkotaan di picu oleh gaya hidup sedentari—minim aktivitas fisik namun tinggi asupan kalori. Kondisi ini semakin di perparah oleh meningkatnya konsumsi makanan cepat saji, minuman manis, serta paparan iklan makanan tidak sehat yang masif di media digital dan ruang publik.
Lonjakan Obesitas: Pola Makan Modern Dan Lingkungan Yang “Obesogenik”
Lonjakan Obesitas: Pola Makan Modern Dan Lingkungan Yang “Obesogenik” salah satu penyebab utama lonjakan obesitas di kota-kota besar adalah perubahan pola makan masyarakat yang semakin bergantung pada makanan olahan dan cepat saji. Gaya hidup serba cepat mendorong banyak orang untuk memilih makanan instan yang praktis namun tinggi kalori, lemak jenuh, dan gula tambahan. Survei Nielsen tahun 2022 menunjukkan bahwa 74% masyarakat perkotaan di Indonesia mengonsumsi makanan siap saji minimal dua kali dalam seminggu.
Lingkungan perkotaan yang obesogenik—yakni lingkungan yang secara tidak langsung mendorong gaya hidup tidak sehat—juga menjadi faktor penyumbang utama. Di banyak kota besar, ruang terbuka hijau sangat terbatas, trotoar tidak layak di gunakan, dan kemacetan lalu lintas menjadi hambatan bagi warga untuk berjalan kaki atau bersepeda. Akibatnya, sebagian besar masyarakat lebih memilih kendaraan pribadi atau transportasi online untuk mobilitas harian, yang menurunkan kesempatan untuk bergerak aktif.
Kemudahan akses layanan pesan antar makanan juga memperburuk kebiasaan konsumsi yang tidak sehat. Studi yang di lakukan oleh Gojek dan Grab Food tahun 2023 mencatat bahwa penduduk kota besar rata-rata memesan makanan melalui aplikasi sebanyak delapan kali per bulan. Menu yang paling sering di pesan antara lain ayam goreng, mie instan, serta minuman manis boba atau kopi susu kekinian—semuanya tinggi kalori dan gula.
Lebih jauh lagi, kesenjangan informasi tentang pola makan sehat turut memperparah situasi. Menurut data Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) tahun 2022, hanya 36% responden di perkotaan yang membaca label nutrisi sebelum membeli makanan atau minuman. Kurangnya edukasi gizi dan rendahnya literasi kesehatan menjadi tantangan besar bagi upaya pencegahan obesitas di tengah masyarakat urban yang kian sibuk dan terpapar gaya hidup instan.
Dampak Kesehatan Dan Sosial
Dampak Kesehatan Dan Sosial dampak obesitas jauh lebih serius daripada sekadar persoalan estetika atau penampilan fisik semata. Kelebihan berat badan secara signifikan meningkatkan risiko berbagai penyakit kronis yang dapat mengancam jiwa. Data dari International Diabetes Federation (IDF) tahun 2023 menunjukkan bahwa Indonesia memiliki sekitar 19,5 juta penderita diabetes tipe 2. Mayoritas kasus tersebut berkorelasi langsung dengan obesitas.
Obesitas juga di kaitkan dengan peningkatan risiko berbagai penyakit lain seperti hipertensi, penyakit jantung, gangguan tidur, osteoartritis, dan bahkan beberapa jenis kanker. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat bahwa obesitas menjadi penyebab kematian lebih dari 2,8 juta orang di seluruh dunia setiap tahunnya. Risiko kanker usus besar, payudara pascamenopause, pankreas, dan rahim meningkat pada individu dengan indeks massa tubuh tinggi.
Dampak obesitas merambah sosial dan psikologis, terutama di perkotaan yang menilai penampilan sebagai indikator nilai diri. Stigma ini sering menimbulkan isolasi sosial dan menurunkan kualitas hidup penderita obesitas secara signifikan. Banyak penderita obesitas menghadapi stigma sosial yang menyebabkan diskriminasi di lingkungan kerja, pendidikan, dan relasi sosial sehari-hari.
Diskriminasi ini memperburuk tekanan psikologis dan menghambat kesempatan mereka untuk berkembang secara optimal. Studi Universitas Indonesia 2021 mencatat remaja obesitas di kota besar berisiko dua kali lebih tinggi mengalami tekanan mental. Kondisi ini membutuhkan perhatian serius dalam upaya kesehatan mental dan dukungan sosial yang berkelanjutan.
Stigma obesitas dapat memperburuk kesehatan karena menurunkan motivasi menjalani gaya hidup sehat dan melakukan aktivitas fisik rutin. Riset Harvard 2022 menemukan individu yang distigmatisasi enggan olahraga di ruang publik dan takut berkonsultasi ke dokter. Masalah obesitas bukan hanya tanggung jawab individu, tapi juga menuntut perubahan budaya, kebijakan kesehatan, dan edukasi inklusif empatik.
Strategi Mengatasi Obesitas: Edukasi, Intervensi, Dan Kebijakan Publik
Strategi Mengatasi Obesitas: Edukasi, Intervensi, Dan Kebijakan Publik mengatasi obesitas memerlukan pendekatan multidimensi yang melibatkan individu, komunitas, hingga pemerintah. Di tingkat individu, penting untuk meningkatkan literasi gizi dan membangun kesadaran akan pentingnya pola makan seimbang dan gaya hidup aktif. Kampanye seperti “Isi Piringku” dari Kementerian Kesehatan telah menjadi langkah awal yang baik, meski belum merata dampaknya di perkotaan.
Di tingkat komunitas, penyediaan fasilitas olahraga yang terjangkau dan aman menjadi kunci. Pemerintah kota seperti Surabaya dan Bandung mulai mengembangkan program car free day, revitalisasi taman kota, dan jalur sepeda sebagai bentuk promosi gaya hidup aktif.
Sementara itu, intervensi kebijakan juga di perlukan untuk mengendalikan iklan makanan tak sehat, terutama yang menyasar anak-anak. WHO merekomendasikan agar negara-negara menerapkan pembatasan iklan makanan dan minuman tinggi gula, garam, dan lemak pada jam tayang anak.
Beberapa negara seperti Chile dan Inggris telah mewajibkan label peringatan pada kemasan makanan tinggi kalori dan pajak tambahan. Kebijakan ini terbukti efektif menurunkan konsumsi produk tidak sehat secara signifikan dalam masyarakat mereka.
Indonesia mulai menerapkan regulasi serupa, termasuk rencana cukai minuman berpemanis dalam kemasan yang berlaku bertahap mulai 2025. Kementerian Keuangan menyatakan kebijakan ini dapat mengurangi konsumsi minuman berpemanis dalam kemasan hingga 23% dalam lima tahun mendatang. Program ini diharapkan mendukung pengurangan risiko penyakit terkait gula berlebih pada masyarakat Indonesia.
Perluasan layanan konsultasi gizi di puskesmas dan program sekolah sehat juga harus diperkuat untuk mendukung pola makan sehat. Keterlibatan sektor swasta seperti restoran dan penyedia makanan diperlukan untuk menyediakan menu sehat dan mencantumkan informasi kalori jelas.
Obesitas di perkotaan bukan hanya masalah individu, tapi juga gaya hidup, lingkungan, dan kebijakan publik. Kota harus jadi pusat inovasi lingkungan sehat dan dukung hidup aktif. Penanggulangan butuh sinergi regulasi dan perubahan perilaku. Tanpa tindakan serius, ini bisa jadi “epidemi diam” yang mengancam produktivitas akibat Lonjakan Obesitas.