
NEWS

Toxic Relationship: Saatnya Berani Mengakhiri
Toxic Relationship: Saatnya Berani Mengakhiri

Toxic Relationship, sinta, mahasiswi akhir, tak menyangka perhatian kekasihnya perlahan berubah menjadi tekanan emosional. Pada awal hubungan, ia merasa spesial karena selalu dipantau keberadaannya. Namun, seiring waktu, permintaan konstan untuk mengirimkan lokasi dan larangan berteman dengan lawan jenis mulai terasa seperti jerat, bukan kasih sayang. Situasi ini menjadi titik awal dari hubungan toksik yang tak ia sadari sebelumnya.
Hubungan yang tidak sehat biasanya dimulai dengan kontrol terselubung. Menurut lembaga konseling psikologis Charlie Health, gaslighting, kritik terus-menerus, dan sikap posesif adalah indikator awal hubungan beracun. Ciri-ciri ini sering kali ditutupi oleh topeng kepedulian. Pasangan yang posesif kerap berdalih bahwa mereka hanya “ingin menjaga”. Namun, kontrol seperti ini bisa menjadi benih dari kekerasan psikologis yang mendalam.
Gaslighting adalah teknik manipulasi psikologis di mana pelaku membuat korban meragukan persepsinya sendiri. Dalam banyak kasus, korban mulai mempertanyakan memori, perasaan, bahkan kewarasannya. Misalnya, ketika korban menangis karena disakiti, pelaku akan menuduhnya “terlalu sensitif” atau “mencari perhatian.” Hal ini membuat korban merasa bersalah tanpa alasan logis. Teknik ini efektif menundukkan korban secara emosional.
Penelitian oleh Komnas Perempuan menunjukkan bahwa kekerasan emosional adalah bentuk kekerasan paling tidak terlihat namun paling sering terjadi dalam hubungan. Data tahun 2023 menunjukkan 30% kekerasan dalam pacaran adalah kekerasan emosional. Dalam budaya yang masih memandang relasi asmara sebagai privasi absolut, banyak korban memilih diam dan bertahan dalam lingkaran ini.
Toxic Relationship ditandai dengan siklus idealisasi dan penurunan—fase cinta intens yang berubah menjadi kritik atau kekerasan. Pola ini membentuk ketergantungan emosional, membuat korban sulit lepas karena terus berharap pada fase “baik” berikutnya. Seperti Sinta, yang luluh setiap kali kekasihnya meminta maaf dan menangis, meski pola itu terus berulang.
Toxic Relationship: Luka Yang Tak Terlihat
Toxic Relationship: Luka Yang Tak Terlihat di balik senyumnya di media sosial, Rino menyimpan luka batin yang tak terucap. Ia telah menjalani hubungan selama dua tahun dengan pasangan yang kerap merendahkannya, membandingkan dirinya dengan mantan, bahkan menyalahkan Rino atas kemarahan pasangannya. Setiap pertemuan berakhir dengan perasaan gagal dan tidak cukup berharga. Ia mulai menarik diri dari pertemanan dan kehilangan minat pada aktivitas yang dulu ia cintai.
Hubungan toksik meninggalkan luka mendalam yang tidak selalu tampak secara kasatmata. Menurut penelitian University of Glasgow, korban hubungan beracun mengalami risiko gangguan stres pascatrauma (PTSD), gangguan tidur, serta gangguan kognitif yang bisa berlangsung hingga puluhan tahun setelah hubungan berakhir. Luka ini juga bisa memengaruhi kemampuan seseorang membentuk relasi sehat di masa depan.
Secara emosional, korban mengalami gangguan harga diri dan rasa bersalah kronis. Data dari JETIR Journal tahun 2024 mengungkapkan bahwa 65% individu yang terjebak dalam hubungan toksik menunjukkan gejala depresi dan kecemasan berat. Rasa takut membuat kesalahan atau mengatakan hal yang “salah” menjadi mekanisme bertahan dalam relasi yang menekan. Ini memperburuk isolasi sosial mereka.
Tak hanya berdampak pada korban utama, hubungan toksik juga dapat menular secara sosial. Korban yang mengalami kekerasan emosional cenderung menjadi tertutup dan kehilangan kepercayaan pada orang lain. Ini berakibat pada terganggunya fungsi sosial seperti relasi dengan keluarga, sahabat, bahkan rekan kerja. Tak jarang, korban kehilangan pekerjaan atau kesempatan akademis karena terganggu secara mental.
Lebih jauh, dampak ini juga bisa menjalar ke anak-anak jika terjadi dalam hubungan rumah tangga. Anak yang tumbuh dalam lingkungan penuh konflik memiliki risiko tinggi mengalami gangguan perilaku, kecemasan, bahkan mengulangi pola kekerasan di masa dewasa. Hal ini menjadikan toxic relationship bukan hanya masalah pribadi, tapi juga masalah sosial lintas generasi.
Mengapa Sulit Untuk Pergi? Faktor Psikologis Dan Budaya
Mengapa Sulit Untuk Pergi? Faktor Psikologis Dan Budaya rika, 32 tahun, sudah tiga kali mencoba mengakhiri hubungannya dengan Dedi. Namun setiap kali ia pamit, Dedi menangis dan memohon, bahkan mengancam akan menyakiti diri sendiri. Rika selalu kembali, percaya bahwa mungkin kali ini akan berbeda. Namun pola itu terus berulang. Rika tahu hubungannya tidak sehat, tapi ia merasa bersalah dan takut jika benar-benar pergi.
Trauma bonding adalah istilah yang menjelaskan mengapa banyak orang tetap tinggal dalam hubungan beracun. Ini adalah keterikatan emosional yang terbentuk ketika pelaku sesekali memberikan kasih sayang setelah tindakan kasar. Korban mulai percaya bahwa cinta dan penderitaan adalah satu paket. Harapan akan perubahan dari pelaku membuat korban ragu untuk pergi, bahkan ketika terluka berulang kali.
Dalam konteks budaya Indonesia, tekanan sosial turut memperkuat ketidakmampuan korban untuk pergi. Perempuan kerap di besarkan dengan nilai kesetiaan tanpa syarat. Komnas Perempuan mencatat bahwa pada 2023, 74% korban kekerasan enggan melapor atau mengakhiri hubungan karena takut stigma sosial. Mereka khawatir di anggap gagal menjaga hubungan, atau lebih buruk: “perempuan tidak tahu diri.”
Selain itu, ketergantungan ekonomi dan emosional menjadi penghalang besar. Banyak korban toxic relationship hidup sepenuhnya bergantung pada pasangan—baik secara finansial maupun psikologis. Mereka tidak memiliki sistem pendukung atau kepercayaan diri untuk hidup mandiri. Ketakutan terhadap ketidakpastian lebih besar di banding rasa sakit yang mereka alami setiap hari.
Di sisi lain, pelemahan logika dan identitas pribadi akibat gaslighting membuat korban ragu atas penilaian mereka sendiri. Mereka merasa keputusan untuk pergi adalah sesuatu yang egois atau berlebihan. Padahal, keputusan itu justru langkah penyelamatan diri yang penting. Inilah mengapa pemahaman dan dukungan dari lingkungan sangat vital agar korban merasa tidak sendiri dalam mengambil keputusan.
Berani Mengakhiri: Jalan Menuju Pemulihan Dan Kehidupan Baru
Berani Mengakhiri: Jalan Menuju Pemulihan Dan Kehidupan Baru akhirnya, setelah enam tahun penuh luka, Tia mengumpulkan keberanian untuk meninggalkan pasangannya. Ia memulai dengan menghapus nomor telepon, memblokir media sosial, lalu menghubungi konselor di P2TP2A setempat. Awalnya berat, ia merasa hampa dan takut. Namun seiring waktu, perasaannya mulai berubah menjadi lega dan bebas. Keputusan itu menjadi titik balik dalam hidupnya.
Mengakhiri toxic relationship memang tidak mudah, tetapi sangat mungkin dilakukan. Langkah awal adalah menyadari dan menerima bahwa hubungan tersebut tidak akan berubah jika pelaku tidak mengakui kesalahan dan mau memperbaiki diri secara nyata. Mengakhiri bukan berarti menyerah pada cinta, melainkan memilih cinta yang sehat—untuk diri sendiri terlebih dahulu.
Banyak layanan tersedia bagi korban kekerasan emosional di Indonesia, mulai dari Yayasan Pulih, LBH APIK, hingga layanan SAPA 129 dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Selain itu, terapi psikologis seperti Cognitive Behavioral Therapy (CBT) terbukti efektif dalam membantu korban memulihkan harga diri dan mengelola trauma.
Pemulihan juga berarti membangun kembali jaringan sosial yang sehat. Dukungan dari keluarga dan teman menjadi penyangga penting. Bergabung dalam komunitas penyintas juga bisa memberi semangat dan perspektif baru. Mereka yang pernah mengalami situasi serupa biasanya memiliki empati dan kekuatan untuk saling menguatkan.
Melangkah pergi bukanlah tanda kegagalan, melainkan bentuk keberanian untuk memilih keselamatan dan kewarasan diri. Seperti kata Rupi Kaur, “Cinta bukanlah harus bertahan. Cinta adalah harus sehat.” Setiap orang berhak berada dalam hubungan yang saling menghargai, mendukung pertumbuhan, dan bebas dari rasa takut. Sudah saatnya kita mendefinisikan ulang cinta—bukan yang membuat kita menderita, melainkan yang membuat kita berkembang. Inilah kesadaran penting dalam menghadapi Toxic Relationship.