
DAERAH

PT Sritex dan Tantangan Pemulihan Industri
PT Sritex dan Tantangan Pemulihan Industri

PT Sritex Menjadi Salah Satu Contoh Nyata Dari Dampak Besar Gelombang Pemutusan Hubungan Kerja Massal Yang Terjadi. Lonjakan PHK ini mencerminkan tantangan ekonomi yang semakin kompleks. Khususnya, di sektor tekstil yang mengalami tekanan berat akibat berbagai faktor. Hal ini termasuk kebijakan ekonomi, persaingan global, serta perubahan pola konsumsi masyarakat. Di mana, sebagai salah satu perusahaan tekstil terbesar di Indonesia, PT Sritex menghadapi kesulitan finansial. Sehingga, kondisi ini akhirnya menyebabkan mereka di nyatakan pailit pada Oktober 2024. Kondisi ini juga menyebabkan ribuan karyawan kehilangan pekerjaan dan memicu kekhawatiran mengenai stabilitas industri tekstil nasional. Menyikapi permasalahan tersebut, pemerintah berupaya mencari solusi guna meminimalkan dampak sosial dan ekonomi yang timbul akibat kebangkrutan PT Sritex. Maka dari itu, pada 3 Maret 2025, Presiden Prabowo Subianto mengadakan pertemuan. Pertemuan tersebut di jadwalkan dengan sejumlah menteri di Istana Negara, Jakarta. Undangan Presiden ini di lakukan untuk membahas langkah konkret dalam menangani nasib para pekerja terdampak PHK.
Kemudian, dalam pertemuan tersebut, Presiden menginstruksikan para menteri untuk merancang kebijakan. Yang mana, kebijakan yang dapat memberikan peluang kerja bagi mantan karyawan PT Sritex, sehingga mereka tetap dapat bekerja di bidang yang telah mereka tekuni selama ini. Lebih lanjut, beberapa pejabat yang turut hadir dalam rapat ini antara lain Menteri BUMN Erick Thohir, Kurator PT Sritex Nurma Sadikin, Menteri Ketenagakerjaa Yassierli, dan Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi.
Menurut Mensesneg Prasetyo Hadi, pertemuan ini di adakan atas arahan langsung dari Presiden Prabowo, yang sangat peduli terhadap kondisi para pekerja di PT Sritex. Di mana, sejak perusahaan ini di nyatakan pailit, Presiden beberapa kali menugaskan para menteri untuk segera mencari solusi yang konkret. Sehingga, hasil diskusi dengan kurator PT Sritex di harapkan dapat membuka peluang baru bagi karyawan yang terkena PHK pada 1 Maret 2025 untuk kembali bekerja dengan skema baru.
PHK Massal Di PT Sritex
Diskusi ini terbilang sangat penting penting agar tenaga kerja yang telah lama berkecimpung di industri tekstil tetap memiliki peluang berkarier di sektor yang sama. Hal ini di karenakan PHK Massal Di PT Sritex bukanlah satu-satunya kejadian serupa yang melanda industri Indonesia. Di mana, tercatat beberapa perusahaan lain, seperti Sanken dan Yamaha Musik, juga mengalami situasi serupa akibat berbagai faktor ekonomi. Menurut Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (Aspirasi), Mirah Sumirat, fenomena PHK massal ini merupakan akumulasi dari berbagai kebijakan. Serta, di lanjuti dengan kondisi ekonomi yang kurang menguntungkan bagi pekerja. Hal ini mengingat sejak tahun 2020, ketika pandemi COVID-19 melanda dunia. Di mana, banyak perusahaan, termasuk PT Sritex, mengalami kesulitan dalam mempertahankan operasional mereka.
Hal ini terlihat dari pembatasan mobilitas masyarakat dan penurunan daya beli. Sehingga, kondisi ini mengakibatkan turunnya permintaan produk tekstil, yang berdampak pada kinerja keuangan PT Sritex. Lebih lanjut, dampak pandemi memang telah mulai mereda sejak 2023. Namun, efeknya terhadap sektor industri masih terasa hingga kini. Mengingat kenaikan harga kebutuhan pokok serta kebijakan upah yang tidak seimbang dengan tingkat inflasi membuat daya beli masyarakat melemah. PT Sritex, yang bergantung pada pasar domestik dan ekspor merasakan dampak dari menurunnya permintaan. Di sisi lain, kebijakan impor yang di nilai merugikan industri tekstil dalam negeri semakin memperparah keadaan. Hal ini dapat terjadi karena Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 8 Tahun 2024. Di mana, Permen tersbut membuka kran impor secara bebas, sehingga membuat produk lokal kesulitan bersaing dengan barang impor yang lebih murah.
Kemudian, Mirah Sumirat mendesak pemerintah untuk segera mencabut kebijakan ini guna melindungi industri dalam negeri dan mencegah gelombang PHK yang lebih besar. Yang mana, ia juga menekankan bahwa revisi terhadap Undang-Undang Cipta Kerja sangat di perlukan agar kebijakan ketenagakerjaan menjadi lebih adil bagi pekerja.
Membutuhkan Perlindungan Kebijakan Yang Berpihak Kepada Industri Nasional
PT Sritex dan perusahaan tekstil lainnya Membutuhkan Perlindungan Kebijakan Yang Berpihak Kepada Industri Nasional agar dapat bertahan di tengah persaingan global. Selain itu, ia menyarankan agar harga kebutuhan pokok segera di turunkan setidaknya 20% untuk meringankan beban masyarakat. Hal ini mengingat, kenaikan upah sebesar 6,5% masih belum cukup untuk mengimbangi inflasi.
Kebijakan impor yang awalnya di maksudkan untuk meningkatkan daya saing industri domestik justru memperlemah kondisi sektor tekstil dan pakaian di Indonesia. Kemudian, mengingat sejumlah pengusaha tekstil mengeluhkan penurunan penjualan sejak tahun lalu. Sementara, data ekspor tekstil Indonesia pada Maret 2023 menunjukkan kenaikan sebesar 16,87% di bandingkan bulan sebelumnya. Namun, secara tahunan mengalami penurunan yang signifikan. Lebih lanjut, dalam upaya melindungi industri lokal, pemerintah telah menerapkan sejumlah langkah proteksi. Hal ini termasuk kebijakan safeguard dan anti-dumping untuk menjaga keberlangsungan industri tekstil dalam negeri. Febrio Nathan Kacaribu selaku Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan menyatakan pendapatnya. Di mana, ia mengungkapkan bahwa pihaknya mulai menindaklanjuti usulan Kemenperin untuk mengenakan bea masuk tindakan pengamanan terhadap produk pakaian jadi. Sehingga, kebijakan ini di harapkan dapat membantu PT Sritex dan perusahaan tekstil lainnya agar dapat kembali bersaing di pasar domestik.
Selain itu, pemerintah juga melanjutkan kebijakan pengenaan Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) terhadap impor produk tekstil penutup, karpet, dan kain, karpet selama tiga tahun berdasarkan PMK 48/2024. Penyusunan PMK ini di lakukan dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Ini termasuk kementerian dan lembaga terkait, agar kebijakan ini dapat di implementasikan dengan optimal. Meskipun berbagai langkah proteksi telah di ambil. Namun tantangan bagi industri tekstil, termasuk PT Sritex, masih cukup besar. Di mana, pembatasan impor bukanlah hal baru dalam kebijakan perdagangan Indonesia. Yang sejak 2011, sektor Tekstil dan Produk Tekstil telah menghadapi 23 kebijakan safeguard. Delapan di antaranya di berlakukan sebelum pandemi COVID-19. Sedangkan, 15 lainnya di terapkan setelah pandemi.
Menciptakan Ekosistem Bisnis Yang Kondusif
Regulasi terkait pertimbangan teknis impor yang di terbitkan oleh Kementerian Perindustrian menjadi harapan baru bagi para pelaku usaha. Khususnya, di tengah berbagai tantangan yang melanda industri tekstil dan produk tekstil dalam negeri. Sehingga, kebijakan ini bertujuan untuk memperketat arus masuk barang impor agar dapat melindungi industri tekstil nasional dari persaingan yang tidak sehat. Dengan adanya perlindungan tersebut, di harapkan PT Sritex beserta perusahaan tekstil lainnya dapat kembali pulih dan mengembangkan bisnisnya.
Namun, keberlanjutan industri tekstil nasional tidak hanya bergantung pada kebijakan proteksi. Namun, juga pada peningkatan daya saing melalui efisiensi produksi serta inovasi dalam teknologi manufaktur. Di mana, peran pemerintah dalam hal ini sangat krusial dalam Menciptakan Ekosistem Bisnis Yang Kondusif. Tentunya, agar industri tekstil tetap kompetitif di pasar global. PT Sritex sebagai salah satu perusahaan utama di sektor ini, memerlukan dukungan penuh. Khususnya dari berbagai pihak untuk dapat kembali beroperasi secara optimal dan membuka kembali peluang kerja bagi ribuan karyawan yang terkena PHK. Dengan strategi yang tepat, di harapkan mampu bangkit dari krisis yang tengah melanda. Serta, dapat berkontribusi dalam memperkuat daya saing industri tekstil nasional di masa mendatang. Oleh karena itu, keberlanjutan dan pemulihan industri tekstil dalam negeri tidak dapat di lepaskan dari peran PT Sritex.