NEWS
Penjualan Motor Listrik: Lonjakan Nyata Atau Efek Basis Rendah?
Penjualan Motor Listrik: Lonjakan Nyata Atau Efek Basis Rendah?

Penjualan Motor Listrik dilaporkan melonjak 300% pada kuartal pertama 2025 dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Namun, data menunjukkan bahwa sepanjang Januari hingga Maret 2025, penjualan motor listrik baru mencapai sekitar 2.000 unit, jauh dari target pemerintah yang menetapkan angka 200.000 unit hingga akhir tahun .
Peningkatan signifikan yang terjadi sebelumnya pada 2023, dengan peningkatan registrasi motor listrik sebesar 263% dibandingkan tahun 2022, didorong oleh penerapan kebijakan insentif bantuan pembelian sebesar Rp 7 juta per unit. Namun, pada 2024, peningkatan penjualan melambat, dengan registrasi motor listrik hanya naik 24% menjadi 77.078 unit. Penurunan laju pertumbuhan ini menandakan insentif saja tidak cukup untuk mendorong permintaan secara konsisten di pasar.
Kenaikan 300% tersebut lebih mencerminkan peningkatan dari basis yang sangat rendah tahun sebelumnya akibat lesunya pasar saat insentif belum berlaku. Jika subsidi atau insentif tidak diperkuat dan infrastruktur tidak dibenahi, maka pasar akan kembali stagnan. Konsumen memerlukan lebih dari sekadar diskon—mereka butuh keyakinan akan ekosistem kendaraan listrik yang layak dan berkelanjutan. Tanpa kejelasan ekosistem, lonjakan penjualan hanya bersifat sementara dan tidak membentuk fondasi pertumbuhan jangka panjang.
Penjualan Motor Listrik, bersama dengan jenis sepeda motor lainnya, mengalami penurunan pada kuartal I-2025. Data dari Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia (AISI) mencatat bahwa total penjualan motor domestik mencapai 1.683.262 unit, turun sekitar 3% di bandingkan periode yang sama tahun lalu. Penurunan ini menunjukkan bahwa tren lesunya pasar tidak hanya dialami motor listrik, tetapi juga mencerminkan kondisi pasar sepeda motor secara keseluruhan.
Penjualan Motor Listrik: Dampak Ketidakpastian Kebijakan Terhadap Minat Konsumen
Penjualan Motor Listrik: Dampak Ketidakpastian Kebijakan Terhadap Minat Konsumen salah satu faktor utama yang mempengaruhi penjualan motor listrik adalah ketidakpastian mengenai kelanjutan subsidi pemerintah. Pada awal 2025, subsidi sebesar Rp 7 juta per unit yang sebelumnya berlaku belum di perpanjang, menyebabkan konsumen menunda pembelian sambil menunggu kejelasan kebijakan .
Tekno Wibowo, Direktur Komersial Polytron, menyatakan bahwa penjualan motor listrik perusahaan turun sekitar 50% pada kuartal pertama 2025 di bandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Penurunan ini disebabkan oleh melemahnya minat masyarakat di tengah ketidakpastian kelanjutan insentif dari pemerintah. Situasi ini memaksa pelaku industri melakukan evaluasi ulang terhadap strategi penjualan dan komunikasi manfaat kendaraan listrik.
Ketua Umum Asosiasi Industri Sepeda Motor Listrik Indonesia (AISMOLI), Budi Setiyadi, mengungkapkan bahwa penjualan motor listrik pada kuartal pertama 2025 hanya tersisa 30–40% dari periode sebelumnya, bahkan ada yang turun hingga 20%. Ia menekankan pentingnya dukungan regulasi yang konsisten agar produsen tidak kehilangan arah dalam mengembangkan pasar.
Konsistensi kebijakan adalah kunci untuk membangun pasar jangka panjang. Ketika regulasi berubah-ubah atau implementasinya lambat, maka kepercayaan pasar akan tergerus. Dalam industri baru seperti motor listrik, keberlanjutan program dukungan pemerintah bukan sekadar stimulus, melainkan fondasi utama. Tanpa kepastian kebijakan, pelaku usaha akan ragu untuk berinvestasi lebih jauh dalam pengembangan dan inovasi.
Selain itu, ketidakpastian kebijakan juga berdampak pada produsen. Beberapa produsen mengaku kesulitan merencanakan produksi dan distribusi karena tidak adanya kejelasan mengenai insentif. Hal ini menyebabkan mereka menahan ekspansi dan investasi lebih lanjut dalam pengembangan motor listrik.
Pergeseran Ke Sektor Niaga: Strategi Bertahan Di Tengah Pasar Lesu
Pergeseran Ke Sektor Niaga: Strategi Bertahan Di Tengah Pasar Lesu dengan pasar B2C yang lesu, beberapa produsen motor listrik mulai mengalihkan fokus mereka ke sektor niaga atau B2B. Irwan Tjahaja, CEO PT Swap Energi Indonesia, menyebutkan sekitar 90% penjualan B2C mengalami penurunan sangat drastis. Sementara itu, penjualan motor listrik di sektor B2B justru menunjukkan peningkatan sekitar 50% dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Kebutuhan armada ramah lingkungan untuk logistik dan operasional harian mendorong perusahaan mengadopsi kendaraan listrik secara lebih masif.
Sektor niaga, seperti layanan pengiriman dan logistik, tidak terlalu bergantung pada subsidi pemerintah dan lebih fokus pada efisiensi operasional. Hal ini membuat sektor B2B menjadi alternatif yang lebih stabil bagi produsen motor listrik di tengah ketidakpastian pasar konsumen. Stabilitas ini memberi ruang bagi produsen untuk merancang model bisnis yang tidak tergantung pada insentif jangka pendek.
Strategi beralih ke sektor niaga adalah langkah adaptif. Sektor B2B cenderung lebih tahan terhadap fluktuasi insentif dan memiliki potensi skala ekonomi yang besar. Namun, untuk membangun adopsi massal, sektor konsumen tetap harus di kuatkan. Dalam jangka panjang, dominasi pasar tetap akan datang dari individu, bukan hanya dari korporasi. Keseimbangan antara sektor konsumen dan niaga penting untuk mendorong pertumbuhan ekosistem motor listrik yang inklusif.
Selain itu, beberapa perusahaan logistik besar mulai mengadopsi motor listrik untuk armada mereka sebagai bagian dari upaya pengurangan emisi dan efisiensi biaya operasional. Langkah ini di harapkan dapat mendorong produsen untuk lebih fokus pada pengembangan motor listrik yang sesuai dengan kebutuhan sektor niaga. Kemitraan strategis antara produsen dan perusahaan logistik dapat mempercepat pengembangan produk yang tepat guna dan berdaya saing.
Prospek Jangka Panjang: Jalan Menuju 13 Juta Unit Masih Terjal
Prospek Jangka Panjang: Jalan Menuju 13 Juta Unit Masih Terjal pemerintah menargetkan terdapat 13 juta unit motor listrik beredar di Indonesia pada tahun 2030. Namun, realisasi hingga kini baru mencapai sekitar 100.000 unit secara kumulatif. Artinya, dalam waktu 5 tahun ke depan, Indonesia harus menjual lebih dari 2 juta motor listrik per tahun untuk mencapai target tersebut.
Beberapa tantangan utama yang masih menghambat adopsi massal antara lain:
- Harga yang masih mahal: Meski ada subsidi, harga motor listrik masih sekitar Rp20–25 juta, lebih tinggi dari motor konvensional setara.
- Jarak tempuh dan daya tahan baterai: Konsumen masih mengkhawatirkan soal “range anxiety” dan umur baterai yang mahal penggantiannya.
- Infrastruktur pengisian daya: Hingga awal 2025, Indonesia baru memiliki sekitar 3.558 titik charging station, jauh dari kebutuhan ideal lebih dari 10.000 titik .
- Kurangnya tenaga teknis dan bengkel servis: Motor listrik membutuhkan teknisi khusus dan jaringan servis yang belum memadai.
Jika pemerintah dan swasta gagal mempercepat pembangunan infrastruktur dan memberikan insentif non-fiskal seperti jalur prioritas, insentif pajak daerah, atau bebas parkir, maka target 13 juta unit akan sulit di capai. Edukasi publik dan insentif yang merata di seluruh Indonesia (bukan hanya di Jawa) akan menjadi game-changer. Kebijakan yang terpusat di Jawa berisiko memperlebar kesenjangan adopsi antara wilayah barat dan timur Indonesia.
Selain itu, pengembangan teknologi baterai yang lebih efisien dan terjangkau menjadi kunci untuk meningkatkan daya saing motor listrik. Investasi dalam penelitian dan pengembangan serta kolaborasi dengan institusi pendidikan dapat mempercepat inovasi di sektor ini.
Walau lonjakan di awal 2025 terlihat mengesankan, faktanya pasar ini masih rentan terhadap perubahan kebijakan dan belum matang sepenuhnya. Potensinya luar biasa, namun memerlukan komitmen jangka panjang dari pemerintah, kesiapan infrastruktur, dan strategi pasar yang adaptif dari produsen. Tanpa langkah konkret, lonjakan ini hanya akan menjadi tren sesaat—bukan transformasi berkelanjutan dalam Penjualan Motor Listrik.