
NEWS

Fenomena Fans Hooliganisme Dan Cara Menanggulanginya
Fenomena Fans Hooliganisme Dan Cara Menanggulanginya

Fenomena Fans Hooliganisme adalah fenomena sosial yang merujuk pada perilaku agresif dan destruktif oleh kelompok suporter sepak bola. Istilah ini pertama kali di kenal di Inggris pada akhir abad ke-19, terutama setelah maraknya bentrokan antarpendukung klub lokal yang memicu keresahan publik. Seiring waktu, hooliganisme berkembang menjadi subkultur tersendiri, dengan simbol, identitas, dan ritus yang membedakan para pelakunya dari suporter biasa. Mereka tidak hanya datang ke stadion untuk menonton pertandingan, tetapi juga untuk menunjukkan dominasi dan kekuatan kelompok mereka melalui kekerasan.
Fenomena ini menyebar ke berbagai negara, termasuk Indonesia, yang mencatat kekerasan suporter sejak 1990-an seiring naiknya popularitas sepak bola. Fanatisme terhadap klub lokal kerap berubah menjadi kebencian antar suporter, seperti dalam rivalitas Persija dan Persib yang menelan banyak korban jiwa. Rivalitas tersebut meluas ke ranah sosial dan memicu konflik di luar stadion.
Menurut Save Our Soccer, dari 2005 hingga 2018, setidaknya 95 orang tewas akibat kekerasan dalam pertandingan sepak bola di Indonesia. Hooliganisme kini menjadi ancaman serius terhadap keselamatan publik, disertai kerusakan fasilitas umum dan kerugian material besar bagi klub, pemerintah, dan masyarakat.
Dampak psikologis dari hooliganisme juga tidak bisa di abaikan. Rasa takut, trauma, dan citra negatif terhadap sepak bola menjadi konsekuensi langsung dari kekerasan yang terjadi. Hal ini membuat banyak keluarga enggan membawa anak-anak mereka ke stadion, menurunkan kualitas pengalaman menonton dan merugikan industri sepak bola itu sendiri. Pihak sponsor pun menjadi enggan terlibat dalam liga yang dianggap tidak aman.
Fenomena Fans Hooliganisme memperlihatkan bagaimana olahraga yang seharusnya menyatukan, justru bisa menjadi pemicu perpecahan ketika tidak di kelola dengan baik. Identitas kelompok yang eksklusif, di tambah dengan lemahnya regulasi dan pengawasan, menciptakan ruang subur bagi perilaku kekerasan untuk tumbuh. Oleh karena itu, penting untuk memahami akar permasalahan ini sebelum mencari solusi yang komprehensif.
Fenomena Fans Hooliganisme: Kasus Tragis Di Indonesia
Fenomena Fans Hooliganisme: Kasus Tragis Di Indonesia sejumlah kasus hooliganisme yang berujung tragis dan menewaskan banyak suporter. Salah satu yang paling mengejutkan adalah insiden di Stadion Gelora Bandung Lautan Api (GBLA) pada Juni 2022. Dua suporter Bobotoh meninggal akibat sesak nafas karena terjadi desak-desakan di pintu masuk stadion. Kejadian ini terjadi meskipun jumlah tiket yang dijual sudah dibatasi. Namun karena manajemen yang buruk dan minimnya pengawasan, ribuan suporter tetap memaksa masuk, memicu kepanikan dan kehilangan nyawa.
Kasus lainnya yang paling mematikan adalah Tragedi Kanjuruhan, Malang, pada 1 Oktober 2022. Kerusuhan pecah setelah Arema FC kalah dari Persebaya Surabaya, rival berat mereka. Polisi menembakkan gas air mata ke arah tribun penonton untuk membubarkan massa, sebuah tindakan yang melanggar regulasi FIFA. Akibatnya, 135 orang meninggal dunia dan lebih dari 580 lainnya luka-luka karena terinjak, sesak nafas, dan trauma. Tragedi ini menjadi salah satu bencana stadion terburuk dalam sejarah dunia.
Kedua kasus ini menunjukkan lemahnya sistem pengamanan dan manajemen pertandingan di Indonesia. Pintu stadion yang tidak sesuai standar keamanan, minimnya pelatihan bagi petugas keamanan, serta tidak adanya skenario evakuasi darurat memperparah kondisi saat terjadi kekacauan. Di sisi lain, perilaku suporter yang tidak terkontrol menjadi faktor pemicu utama kekacauan tersebut.
Tragedi-tragedi ini tidak hanya berdampak pada korban langsung dan keluarga mereka, tetapi juga mengundang perhatian dunia. FIFA dan berbagai organisasi HAM internasional mengecam keras kejadian di Kanjuruhan. Pemerintah Indonesia pun mendapat tekanan besar untuk mereformasi sistem liga dan keamanan stadion. Investigasi terhadap pihak-pihak terkait dilakukan, termasuk pejabat PSSI, panitia pelaksana, dan aparat keamanan.
Kehilangan kepercayaan publik terhadap penyelenggaraan sepak bola nasional adalah efek jangka panjang yang tak kalah berat. Suporter menjadi trauma, sponsor mulai ragu, dan industri sepak bola tanah air mengalami penurunan tajam dalam hal jumlah penonton serta pendapatan. Oleh sebab itu, pembenahan menyeluruh sangat mendesak dilakukan.
Faktor Penyebab: Dari Fanatisme Hingga Kegagalan Sistemik
Faktor Penyebab: Dari Fanatisme Hingga Kegagalan Sistemik ada banyak faktor yang berkontribusi terhadap berkembangnya budaya hooliganisme di kalangan suporter Indonesia. Salah satu faktor utamanya adalah fanatisme yang berlebihan terhadap klub lokal. Fanatisme ini di dasari oleh identitas kedaerahan dan rasa kepemilikan emosional yang kuat terhadap klub. Sayangnya, fanatisme ini tidak di barengi dengan edukasi yang cukup tentang nilai-nilai sportivitas dan toleransi terhadap rivalitas.
Pengaruh budaya populer dan media juga tidak bisa di abaikan. Film-film bertema hooligan seperti “Green Street Hooligans” serta pemberitaan yang sensasional di media sosial sering kali membentuk persepsi bahwa menjadi suporter yang ‘keras’ adalah sesuatu yang keren. Remaja dan pemuda yang masih mencari identitas diri cenderung mudah terpengaruh dan menjadikan kekerasan sebagai bentuk ekspresi keberanian dan loyalitas.
Selain itu, lemahnya regulasi dan pengelolaan pertandingan juga berperan besar dalam memperparah situasi. Tidak adanya sistem tiket elektronik yang transparan, minimnya pengawasan jumlah penonton, serta infrastruktur stadion yang tidak memadai membuat kerusuhan lebih mudah terjadi. Pihak keamanan sering kali bertindak represif tanpa pendekatan yang manusiawi, yang justru memperburuk keadaan.
Kurangnya dialog antara klub dan kelompok suporter juga menjadi celah dalam manajemen emosi massa. Ketika tidak ada komunikasi dua arah, informasi yang salah mudah menyebar dan memicu kemarahan kolektif. Klub dan operator liga seharusnya aktif membangun hubungan harmonis dan transparan dengan komunitas suporter untuk mencegah kesalahpahaman.
Terakhir, lemahnya penegakan hukum menjadi faktor kunci lainnya. Banyak pelaku kekerasan tidak mendapatkan hukuman setimpal atau justru dilindungi oleh jaringan kekuasaan lokal. Hal ini menciptakan impunitas dan membuat kekerasan terus terjadi tanpa rasa takut akan konsekuensi hukum. Oleh karena itu, reformasi hukum juga merupakan bagian penting dari solusi jangka panjang.
Strategi Menanggulangi Hooliganisme
Strategi Menanggulangi Hooliganisme penanggulangan hooliganisme memerlukan pendekatan multidimensional yang melibatkan berbagai pihak, mulai dari pemerintah, klub, suporter, hingga media. Salah satu strategi paling mendasar adalah melalui pendidikan dan kampanye kesadaran. Program literasi suporter yang menanamkan nilai sportivitas, anti-kekerasan, dan cinta damai perlu di intensifkan, terutama di kalangan suporter muda.
Manajemen pertandingan juga harus di perbaiki secara serius. Penggunaan sistem tiket elektronik, pembatasan jumlah penonton sesuai kapasitas stadion, serta pemisahan zona suporter rival wajib di terapkan. Selain itu, standar keamanan stadion harus di tingkatkan dengan memastikan pintu keluar yang cukup, jalur evakuasi, serta pelatihan bagi petugas keamanan.
Polisi dan aparat keamanan harus di latih untuk menggunakan pendekatan yang lebih humanis. Penggunaan kekerasan seperti gas air mata di dalam stadion harus di hentikan karena bertentangan dengan regulasi internasional dan berisiko tinggi. Sebaliknya, penggunaan teknologi seperti CCTV, detektor logam, dan analisis perilaku massa bisa lebih efektif dan aman.
Penegakan hukum juga harus di tegakkan tanpa pandang bulu. Pelaku kekerasan baik dari suporter maupun petugas keamanan harus di proses hukum secara adil. Selain itu, klub harus bertanggung jawab atas perilaku suporternya dan di berikan sanksi tegas jika terbukti lalai dalam pengelolaan pertandingan.
Terakhir, di perlukan kerja sama lintas sektor untuk menciptakan ekosistem sepak bola yang sehat melalui sinergi semua pihak terkait. Klub harus melibatkan kelompok suporter dalam perencanaan keamanan, sementara pemerintah dan operator liga mengadopsi kebijakan berbasis data dan riset. Dengan pendekatan kolaboratif dan pencegahan dini, sepak bola dapat kembali menjadi sarana pemersatu bangsa, bukan sumber konflik akibat Fenomena Fans Hooliganisme.