NEWS
Komunitas Bersepeda Kembali Bangkit Pasca Pandemi
Komunitas Bersepeda Kembali Bangkit Pasca Pandemi

Komunitas Bersepeda, Setelah Lebih Dari Dua Tahun Aktivitas Masyarakat Terbatas Akibat Pandemi, Kini Pemandangan Para Pesepeda Menjadi Biasa. Fenomena ini menandai kebangkitan komunitas bersepeda yang sempat vakum, sekaligus menunjukkan bagaimana olahraga ini berubah dari sekadar hobi menjadi gaya hidup baru yang lebih sehat, ramah lingkungan, dan sosial.
Selama pandemi COVID-19, sepeda sempat menjadi “primadona” karena dianggap aman dan mendukung aktivitas fisik tanpa kontak langsung. Namun setelah pandemi mereda, minat masyarakat menurun karena kesibukan kembali ke kantor dan meningkatnya mobilitas transportasi umum. Kini, di tahun 2025, tren itu kembali naik tapi dengan wajah baru: komunitas bersepeda yang lebih solid, profesional, dan terorganisir.
Kembali ke Jalan: Bangkitnya Spirit Komunitas. Di berbagai kota, kegiatan fun bike dan cycling club meet-up mulai marak. Dari Jakarta, Bandung, Surabaya, hingga Denpasar, ratusan Komunitas Bersepeda kembali aktif menggelar agenda mingguan. Salah satunya Jakarta Morning Riders (JMR) yang kini beranggotakan lebih dari 3.000 pesepeda aktif dari berbagai latar belakang pekerjaan. “Kami sempat berhenti total hampir dua tahun. Tapi sekarang semangatnya justru lebih besar. Banyak anggota baru yang bergabung karena ingin hidup lebih sehat dan butuh suasana sosial yang positif,” ujar Agus Santoso, Ketua JMR, saat ditemui dalam acara Car Free Day di Sudirman, Jakarta.
Tak hanya di kota besar, tren ini juga menjalar ke daerah-daerah. Komunitas lokal seperti Gowes Makassar Bersatu, Suroboyo Cycling Community, dan Bandung Bike Family kembali rutin mengadakan long ride antarwilayah, sekaligus kampanye “go green” untuk mendorong transportasi ramah lingkungan.
Dari Olahraga ke Gaya Hidup Ramah Lingkungan. Kebangkitan ini tak sekadar tentang olahraga. Banyak komunitas bersepeda kini mengusung misi sosial dan lingkungan. Misalnya, komunitas Bike to Work Indonesia yang kembali aktif mengajak masyarakat menggunakan sepeda sebagai alat transportasi utama untuk mengurangi emisi karbon di kota besar. “Bersepeda itu bukan cuma olahraga, tapi pernyataan sikap terhadap lingkungan.
Manfaat Fisik Dan Mental
Manfaat Fisik Dan Mental. Selain manfaat lingkungan, bersepeda juga terbukti membawa dampak positif bagi kesehatan fisik dan mental. Berdasarkan penelitian Indonesian Sports Science Institute (ISSI) tahun 2024, aktivitas bersepeda secara rutin selama 30 menit sehari dapat meningkatkan daya tahan jantung dan paru hingga 20%, sekaligus menurunkan risiko stres sebesar 35%. “Setelah pandemi, banyak orang merasa burnout dan butuh cara untuk menyeimbangkan hidup. Bersepeda memberi ruang untuk relaksasi mental, bukan hanya pembakaran kalori,” ujar Dr. Yuli Pratama, pakar olahraga dari Universitas Negeri Jakarta.
Tak heran, kini banyak perusahaan besar mendukung aktivitas ini melalui program corporate cycling club. Tujuannya bukan hanya menjaga kesehatan karyawan, tapi juga mempererat hubungan antarpegawai. Beberapa perusahaan bahkan menyediakan fasilitas bike parking, ruang ganti, dan subsidi pembelian sepeda.
Komunitas Digital: Bersepeda Tanpa Batas. Salah satu faktor penting kebangkitan tren ini adalah peran teknologi digital. Aplikasi seperti Strava, Komoot, dan Zwift memungkinkan para pesepeda dari seluruh dunia saling berinteraksi, membandingkan pencapaian, dan membuat tantangan virtual. “Sekarang bersepeda tidak harus bersama secara fisik. Kami bisa gowes bareng secara virtual, saling menyemangati lewat aplikasi,” kata Rico Nugraha, anggota komunitas Virtual Cyclists Indonesia.
Platform digital juga membantu komunitas mengatur event dengan lebih efisien. Melalui media sosial, mereka bisa menjangkau anggota baru, mengatur jalur gowes, hingga memantau keamanan rute menggunakan GPS. Kombinasi antara olahraga dan teknologi ini menjadikan aktivitas bersepeda lebih inklusif siapa pun bisa ikut, dari mana pun.
Infrastruktur Dan Tantangan
Infrastruktur Dan Tantangan. Meski tren bersepeda meningkat, para komunitas masih menghadapi sejumlah kendala di lapangan. Salah satu tantangan paling besar adalah minimnya jalur sepeda yang aman dan terhubung antarwilayah. Banyak jalur sepeda di perkotaan yang hanya bersifat sementara, dibuat tanpa perencanaan matang, atau bahkan tumpang tindih dengan area parkir kendaraan. Akibatnya, pesepeda sering harus berbagi ruang dengan kendaraan bermotor yang melaju cepat.
Di Jakarta misalnya, proyek jalur sepeda sepanjang 300 km yang dicanangkan sejak 2022 masih menghadapi masalah kesinambungan. Beberapa ruas utama seperti Sudirman–Thamrin sudah cukup baik, tetapi di area pinggiran seperti Pasar Minggu atau Cawang, jalur tersebut terputus dan berujung di trotoar sempit. Hal ini membuat banyak pesepeda memilih jalur alternatif yang kurang aman.
Selain itu, kesadaran pengguna jalan lain terhadap keberadaan pesepeda masih perlu ditingkatkan. Banyak pengendara motor dan mobil yang belum sepenuhnya menghormati hak pesepeda di jalan. Menurut data Indonesia Cycling Forum (ICF), tercatat sedikitnya 218 kasus kecelakaan pesepeda di wilayah perkotaan selama 2024, sebagian besar disebabkan oleh kelalaian pengendara lain dan kurangnya rambu pengaman. “Masalahnya bukan hanya infrastruktur, tapi juga budaya berlalu lintas. Kita masih melihat banyak pengendara yang menganggap jalur sepeda sebagai tempat parkir dadakan,” ujar Adi Wicaksono, Ketua ICF.
Sebagai respons, sejumlah komunitas mulai mengambil inisiatif mandiri untuk menciptakan keamanan di jalur gowes. Mereka bekerja sama dengan aparat setempat untuk melakukan patroli komunitas setiap akhir pekan, membagikan lampu sepeda gratis bagi pesepeda malam, serta menggelar pelatihan dasar keselamatan dan etika bersepeda bagi anggota baru.
Beberapa komunitas bahkan memanfaatkan teknologi untuk memperkuat keselamatan. Melalui aplikasi pelacak GPS, mereka membuat peta interaktif berisi jalur sepeda aman, lokasi bengkel darurat, hingga titik-titik rawan kecelakaan. Inovasi ini membantu pesepeda pemula mengenali rute terbaik tanpa harus bergantung pada papan petunjuk fisik.
Dampak Sosial: Membangun Solidaritas Di Jalan
Dampak Sosial: Membangun Solidaritas Di Jalan. Salah satu keunikan komunitas bersepeda adalah semangat kebersamaan yang tumbuh di antara anggotanya. Setiap akhir pekan, para pesepeda berkumpul tidak hanya untuk berolahraga, tapi juga saling mendukung. Beberapa komunitas bahkan rutin mengadakan kegiatan sosial seperti charity ride, donasi untuk korban bencana, dan kampanye kesehatan masyarakat. “Kami ingin membuktikan bahwa olahraga bisa jadi alat untuk mempererat solidaritas sosial. Lewat sepeda, kami belajar peduli,” tutur Nina Marlina, pendiri Ride for Change Indonesia.
Fenomena ini juga membuka peluang ekonomi baru. Toko sepeda, bengkel khusus, dan brand lokal perlengkapan gowes mulai tumbuh pesat. Menurut data Asosiasi Industri Sepeda Indonesia (AISI), penjualan sepeda naik hingga 18% selama 2025, dengan dominasi pasar pada segmen road bike dan folding bike.
Menuju Masa Depan Bersepeda Indonesia. Kini, bersepeda bukan lagi sekadar tren musiman seperti saat pandemi. Ia telah menjadi bagian dari identitas masyarakat urban Indonesia perpaduan antara olahraga, rekreasi, dan gaya hidup berkelanjutan. “Yang membuat kami bangga adalah bagaimana sepeda mempersatukan orang dari berbagai usia dan profesi. Dari anak muda, pekerja kantoran, sampai pensiunan semua punya semangat yang sama,” kata Agus Santoso menutup wawancara dengan senyum.
Dengan dukungan pemerintah, peran komunitas yang solid, dan kesadaran publik yang terus meningkat, masa depan bersepeda di Indonesia tampak cerah. Dan di setiap kayuhan roda yang bergerak di jalan, ada pesan sederhana yang selalu hidup tentang kesehatan, kebersamaan, dan harapan baru menuju kehidupan yang lebih seimbang bersama Komunitas Bersepeda.